PSN Pulau Tanjung Sauh: Pembangunan atau Perusakan Ekologis?

0
4
Zaidan Muharramain Menteri Lingkungan Hidup BEM UMRAH Tanjungpinang, Kepulauan Riau

Oleh: Zaidan Muharramain
Menteri Lingkungan Hidup BEM UMRAH Tanjungpinang, Kepulauan Riau

Pembangunan ekonomi harus menjadi pilar kesejahteraan, bukan instrumen penghancuran lingkungan. Namun, realitas di lapangan sering kali berbicara sebaliknya. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Tanjung Sauh, Kota Batam, yang digarap oleh Panbil Group, adalah contoh nyata dari investasi yang mengabaikan prinsip keberlanjutan ekologis.

Dengan dalih pengembangan ekonomi, proyek ini justru mengancam ekosistem pesisir, menghancurkan hutan bakau, mencemari laut, serta menyingkirkan masyarakat lokal dari hak mereka atas lingkungan yang sehat. Apakah ini harga yang harus dibayar demi kemajuan?

Ekonomi vs Lingkungan: Keseimbangan yang Diabaikan

Dari berbagai temuan di lapangan, sekitar 5 hektar hutan bakau telah diratakan untuk kepentingan proyek ini. Padahal, hutan bakau bukan sekadar pohon di tepi pantai—ia adalah benteng alami terhadap abrasi, habitat bagi biota laut, serta penyerap karbon yang krusial dalam mitigasi perubahan iklim. Menghilangkan hutan bakau sama dengan membuka pintu bagi bencana ekologis yang tak terhindarkan.

Dampaknya sudah mulai terasa. Nelayan setempat melaporkan penurunan hasil tangkapan ikan akibat peningkatan kekeruhan air dan terganggunya ekosistem laut. Jika lingkungan pesisir rusak, masyarakat pesisirlah yang pertama kali merasakan dampaknya. Lalu, siapa yang benar-benar diuntungkan dari proyek ini?

Reklamasi: Mengancam Keanekaragaman Hayati

Reklamasi yang dilakukan untuk menghubungkan Pulau Tanjung Sauh Kecil dan Besar bukan hanya mengubah lanskap, tetapi juga mengganggu pola arus laut serta keseimbangan ekosistem pesisir. Ini bukan kekhawatiran tanpa dasar—banyak proyek reklamasi di berbagai daerah telah terbukti menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan mempercepat degradasi lingkungan.

Pelanggaran Regulasi: Proyek Ilegal yang Dilegalkan?

PSN Pulau Tanjung Sauh tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga melanggar berbagai regulasi yang jelas mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan lingkungan hidup.

1. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil – Melarang pemanfaatan pulau kecil yang merusak keseimbangan ekosistem.

2. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup – Menegaskan bahwa pembangunan harus berbasis pada prinsip keberlanjutan.

3. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya – Melarang eksploitasi yang tidak mempertimbangkan konservasi lingkungan.

Jika regulasi sudah jelas melarang praktik seperti ini, mengapa proyek ini tetap berjalan? Apakah ada kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan rakyat dan lingkungan?

Desakan: Pemerintah Harus Bertindak!

Dalam 100 hari kerja pemerintahan Prabowo, pemerintah harus membuktikan komitmennya terhadap lingkungan dengan:

• Melakukan audit lingkungan independen untuk menilai apakah proyek ini telah memenuhi standar AMDAL yang seharusnya menjadi syarat mutlak sebelum pembangunan dimulai.

• Mengevaluasi kembali status PSN Pulau Tanjung Sauh agar tidak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.

• Mendesak KLHK, BRGM, dan KKP untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran lingkungan yang terjadi.

• Menjamin kompensasi yang adil bagi masyarakat terdampak, terutama nelayan yang kehilangan akses terhadap sumber daya laut mereka.

Masa Depan Pembangunan: Konservatif atau Destruktif?

Kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan yang sehat harus berpihak pada keberlanjutan, bukan pada eksploitasi buta yang hanya menguntungkan segelintir elite. Pembangunan ekonomi yang sejati harus mampu memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak, meminimalisir dampak lingkungan, serta memastikan keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Di tengah krisis iklim global yang semakin mengkhawatirkan, apakah kita masih ingin menutup mata terhadap kehancuran lingkungan yang sedang terjadi? Ataukah kita akan memilih untuk melawan praktik destruktif dan mendorong kebijakan pembangunan yang adil bagi alam dan manusia?

Pilihannya ada pada kita.

Salam Adil dan Lestari!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini